Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
Senin, 28 Maret 2016
Makalah DI/TII
Bab I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Darul
Islam ataupun Negara Islam Indonesia dapat dikatakan menjadi salah satu
peristiwa yang mengiringi Indonesia pada masa pasca kemerdakaan, 17 Agustus
1945. Gerakan yang muncul oleh adanya Perjanjian Renville dan memaksa Tentara
Indonesia hijrah dari Jawa Barat oleh
karena kekalahan Indonesia dari pihak Belanda. Gerakan ini memberi dampak besar
bagi pemerintahan Indonesia merdeka yang masih belia bukan hanya di Jawa Barat
namun juga telah menyebar ke provinsi lain di Jawa bahkan di luar Jawa. Hal ini
tidak terlepas dari peran R. M. Kartosuwiryo sebagai pimpinan gerakan Darul
Islam sekaligus Imam dan Presiden Negara Islam Indonesia yang juga merupakan
politikus terkemuka di masa sebelum perang terutama di Partai Serikat Islam
Indonesia (PSII) dan sifat fanatiknya terhadap agama dan pandangannya mengenai
politik hijrah. Darul Islam bukan hanya menjadi musuh bagi pemerintahan baru
Indonesia dan tentara nasional, tetapi juga bagi rakyat sipil yang tidak lepas
dari dampak kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh anggota Darul Islam.
Meskipun pemberontakan ini didominasi oleh para mantan gerilyawan perang dari
beragam daerah namun mereka tetap dipersatukan di bawah bendera Negara Islam
Indonesia dan tetap bersatu oleh hasutan Kartosuwiryo yang menyadarkan bahwa
para mantan gerilyawan dan rakyat, terutama di Jawa Barat, telah ditinggalkan
oleh pihak Tentara Nasional ketika mereka merasa masih membutuhkan perlindungan
dari pihak Belanda oleh penandatanganan Perjanjian Renville oleh Amir
Syariffudin. Hingga 1961 kerusuhan terus berlanjut, korban terus berjatuhan,
dan semakin banyak pula aksi yang gencar dilakukan oleh pihak pemberontak dan pihak Tentara Republik.
Perlawanan terhadap Darul Islam dipersulit dengan adanya Tentara Islam dan
Angkatan Bersenjata Islam yang berhasil mereka bentuk sebagai tenaga penjaga
keamanan Negara Islam Indonesia dan sebagai senjata utama dalam memerangi pihak
Indonesia. Hingga pada 1962 Kartosuwiryo ditangkap dan dijatuhi hukuman mati
yang mengawali runtuhnya Negara Islam terutama di Jawa Barat , tetapi setelah
lima belas tahun berlalu gerakan Darul Islam dinyatakan masih tetap ada.
2. Rumusan Masalah
·
Apa yang meyebabkan gerakan Darul Islam muncul
di masa awal kemerdekaan Indonesia?
·
Kapan sebenarnya gerakan Darul Islam mulai
terbentuk?
·
Apa sebenarnya tujuan pembentukan Darul Islam
dan Negara Islam Indonesia?
·
Siapa sebenarnya S.M. Kartosuwiryo?
·
Apa peran Kartosuwiryo bagi Darul Islam?
·
Di mana saja Gerakan Darul Islam ini
berkermbang?
·
Apa langkah yang diambil pihak Republik
Indonesia dalam menumpas gerakan Darul Islam?
·
Apakah Darul Islam masih ada hingga kini?
Bab II Isi
1. Darul Islam
Darul
Islam (bahasa Arab dar al-Islam)
secara harfiah berarti “Rumah” atau “Keluarga” Islam, yaitu “Dunia atau Wilayah
Islam.” Yang dimaksud adalah bagian Islam dari dunia yang di dalamnya keyakinan
Islam dan pelaksanaan syariat Islam dan peraturan-peraturannya diwajibkan.
Lawannya adalah Darul Harb, “wilayah perang, dunia kaum kafir” , yang
beraangsur-ansur akan dimasukkan ke dalam Darul Islam. Di Indonesia kata-kata
Darul Islam digunakan untuk menyatakan gerakan-gerakan sesudah 1945 yang
berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita Negara Islam
Indonesia.
Gerakan ini bertujuan
menjadikan Republik Indonesia
yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada
pada masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda
sebagai negara teokrasi
dengan agama Islam
sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam
Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam
undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan
"Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadist".
Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara
untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan
penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang
mereka sebut dengan "hukum kafir",
sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.
Daerah awal tempat
gerakan Darul Islam dimulai dari daerah pegunungan di Jawa Barat, yang ke timur
dari Bandung sampai ke perbatasan dengan Jawa Tengah yang kemudian menyebar ke
bagian-bagian lain Indonesia. Daerah-daerah yang menjadi tempat penyebaran
perkembangan Gerakan DI terutama di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh, dan
Kalimantan Selatan.
·
Darul Islam di Jawa
Tengah
Pemberontakan DI Jawa Tengah Berasal dari tiga
kelompok yang berbeda-beda. Yang satu di pantai utara, di kabupaten-kabupaten
sebelah timur perbatasan Jawa Barat, terutama Brebes dan Tegal, yang merupakan
inti Darul Islam untuk Jawa Tengah, yaitu wilayah operasi pemimpin Darul Islam Amir
Fatah. Kelompok ini mendapat ilham dan sebagiannya diawasi dari Jawa Barat. Dua
kelompok lain berakar pada Angkatan Umat
Islam di Kebumen, yang menentang Pemerintahan Indonesia dan pada suatu
kelompok yang terbentuk dari para pembelot dari Divisi Diponegoro. Amir Fatah
yang bernama lengkap Amir Fatah Widjajakusuma, adalah seorang pribumi Kroya di
Banyumas. Dia mengaku menjadi ketua Dewan Pembelaan Masyumi Pusat.Dia memimpin
pasukan Hizbu’llah. Pasukan ini
merupakan bagian dari pasukan yang menolak mengundurkan diri dari Jawa Barat
sesudah Perjanjian Renville. Oleh sebab itu Amir Fatah harus berselisih dengan
Kartosuwiryo, dan kemudian harus mundur ke daerah Brebes dan Tegal. Amir Fatah
memasuki daerah tersebut melalui Wonosobo, di sana ditempatkan Batalyon 52
Hizbu’llah, sekitar Oktober 1948. Dia berhasil mengajak batalyon ini kembali ke
Brebes dan Tegal bersamanya walaupun ditentang oleh komandannya, Muhammad Bachrin.
Amir Fatah membentuk “sel Pemerintahan Islam,” dan mendirikan Majelis Islam.
Pasukannya dinamakan Mujahidin. Negara Islam Jawa Tengah diproklamasikan pada
akhir April 1949 di Desa Pengarasan. Jadi sebenarnya Jawa Tengah telah lebih
dulu memproklamasikan Negara Islam daripada Jawa Barat.
·
Darul Islam di
Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan meletus pemberontakan
terhadap Republik Indonesia tidak lama setelah pengakuan resmi kemerdekaan
Indonesia. Pada tahap awal pemberontakan ini semata-mata merupakan keresahan
bekas para pejuang gerilya yang menggerutu tentang sistem penggabungan mereka
ke dalam Tentara Republik atau demobilisasi sepotong-sepotong. Beberapa tahun
kemudian pemberontak-pemberontak ini bergabung dengan Negara Islam Indonesia
Kartosuwiryo. Pemberontakan di Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzzakar. Itulah
yang memengaruhi bagian-bagian luas Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara
selama bertahun-tahun. Abdul Kahar Muzzakar, yang ketika remaja bernama La
Domeng, lahir di Desa Lanipa, dekat Palopo, di pantai barat laut Teluk Bone, 24
Maret 1921. Dia lahir dari keluarga petani yang cukup mampu dan tergolong
aristokrat rendah. Kahar Muzzakar diasingkan dari tanah kelahirannya setelah
dianggap melakukan “penghasutan” kepada para kepala adat dan lebih dari itu
telah mengutuk sistem feodal di Sulawesi Selatan dan menganjurkan penghapusan aristokrasi.
Setelah itu ia tinggal di Surakarta dan hidup dari berdagang. Dalam
perjalanannya, Kahar Muzzakar memiliki peran besar dalam Tentara Republik dan
pengawalan terhadap Presiden Soekarno. Namun ia mengundurkan diri pada tahun
1950 karena adanya perbedaan paham antara dirinya dengan Kawilarang yang
merupakan salah satu petinggi Tentara Republik dalam hal penggabungan Kesatuan
Gerilyawan Sulawesi Selatan (KGSS) ke dalam Tentara Republik. Kesatuan ini
dibentuk oleh Saleh Sjahban dengan tujuan mempersatukan gerombolan-gerombolan
gerilyawan yang terpencar yang beroperasi sendiri-sendiri di daerah itu. Kahar
Muzzakar kemudian bergabung dengan KGSS dan bersama para gerilyawan bertempur
melawan prajurit Republik. Secara resmi Kahar Muzzakar bergabung dengan
Kartosuwiryo pada 20 Januari 1952 setelah menerima surat pribadi yang
dikirimkan kepadanya berisi tawaran untuk memimpin Tentara Islam Indonesia di
Sulawesi. Dia menjabat sebagai panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia atau
yang disebut juga Divisi Hasanuddin.
·
Darul Islam di
Kalimantan Selatan
Pemberontakan di Kalimantan Selatan juga
terjadi setelah pengakuan resmi kedaulatan Indonesia pada akhir 1949. Daerah
utama yang dipengaruhi gerakan Darul Islam adalah bagian tenggara Kalimantan
atau Kalimantan Selatan saat ini. Berpusat di Kabupaten Hulusungai, khususnya
di daerah antara Barabai dan Kandangan. Selama bertahun-tahun ibukota
Banjarmasin tidak aman oleh adanya aksi-aksi pasukan Darul Islam Ibnu Hadjar.
Ibnu Hadjar memimpin organisasi gerilya yang bernama Kesatuan Rakyat Indonesia
yang Tertindas (KRIyT). Nama ini ditujukan kepada para bekas pejuang gerilya, Pemerintahan
Republik menyalahkan organisasi ini sebagai penyebab kerusuhan yang terjadi di
Kalimantan, tetapi mereka menuduh pemerintah melakukan pengkhianatan dan penindasan. Faktor yang menimbulkan hal
ini adalah cara pemerintah dalam menangani demobilisasi mantan pejuang gerilya
di Kalimantan dan perlakuan pemerintah dan Tentara Republik terhadap rakyat
desa. Para gerilyawan yang telah dimobilisasi ke Tentara Republik merasa
terdiskriminasi bila dibandingkan dengan perlakuan rekan-rekan mereka yang ada
di Pulau Jawa. Hal ini tampak dari perbandingan tunjangan yang mereka terima
dan ditambah lagi dengan tidak adanya pengakuan terhadap gerilyawan yang
didemobilisasi di Kalimantan sebagai seorang veteran sehingga tidak menerima
jaminan hari tua. Sebagian gerilyawan memutuskan bergabung dengan pasukan Ibnu
Hadjara di hutan. Kelompok ini yang kemudian melakukan tindakan-tindakan yang
mengganggu ketentraman karena merasa kesulitan untuk kembali ke kehidupan
sipil.
·
Darul Islam di Aceh
Pemberontakan di Aceh meletus pada September
1953 ketika salah seorang pemimpin yang paling berpengaruh di daerah itu, Daud
Beureuh, menyatakan Aceh dan daerah-daerah yang berbatasan dengan daerahnya
menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia. Pada minggu-minggu pertama kaum
pemberontak hampir berhasil menguasai seluruh daerah di Aceh. Hanya kota-kota
besar seperti Banda Aceh, Langsa, Sigli, dan Meulaboh yang masih dalam tangan
Republik. Pemberontakan ini muncul oleh adanya tuntutan masyarakat Aceh dalam
pemberian hak istimewa kepada Provinsi Aceh dengan otonomi di bidang
agama,hukum adat dan pendidikan.
Secara resmi proklamasi gerakan Darul Islam pada 7 Agustus 1949 di
Desa Campah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan, Cisayong, Jawa Barat oleh Kartosuwiryo
sendiri. Hal ini sekaligus menandai di mulainya pemerintahan Islam di Jawa
Barat dan berdirinya Negara Islam Indonesia.
2. S. M. Kartosuwiryo
Keberhasilan
dalam menegakkan Negara Islam pada 1948 sebagian besar dapat dikatakan sebagai jasa
dari Kartosuwiryo. Dalam dirinya disatukan sejumlah sifat yang menjadikannya
pemimpin utama gerakan Darul Islam. Kartosuwiryo adalah seorang organisator ulung
yang sekaligus mampu memikat banyak pengikut di kalangan rakyat pedesaan. Dia
berpengalaman dalam politik nasional dan telah berperan penting dalam gerakan
Islam sebelum perang.
Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo bukanlah pribumi Jawa Barat.
Dia lahir di Cepu, antara Blora dan
Bojonegoro, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur pada 7 Februari 1905.Ia
memperoleh pendidikan pada usia 6 tahun di Inlandsche School der Tweede Klasse
atau Sekolah Bumiputra Kelas Dua yang standarnya hanya sedikit lebih tinggi
dari Volksschool (Sekolah Desa). Di sana dia hanya belajar sedikit pelajaran
dasar dan umum. Setelah lulus dalam empat tahun, ia melanjutkan pendidikannya
pada sekolah-sekolah dasar kelas satu. Mula-mula ia memasuki
Hollandsch-Inlandsche School (Sekolah Bumiputra bahasa Belanda) dan kemudian
pada 1919 melanjutkan pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), Sekolah
Dasar Eropa, setelah orang tuanya pindah ke Bojonegoro. Bagi seorang putra
pribumi keduanya merupakan sekolah elite. Sekolah Bumiputra bahasa Belanda
(HIS) dimaksudkan bagi anak-anak anggota kelas atas pribumi. Sesudah menyelesaikan
ELS, dia berangkat ke Surabaya dan masuk Nederlandsch Indische Artsen School
(NIAS), Sekolah Dokter Hindia Belanda, pada usia delapan belas tahun.
Kartosuwiryo dan Soekarno memiliki mentor politik yang sama
yaitu Haji Oemar Said Cokroaminoto yang merupakan seorang nasionalis paling
terkemuka dan popular di masanya. Kartosuwiryo tinggal bersama Cokroaminoto
setelah dia dikeluarkan dari NIAS pada 1927 dengan alasan kegiatan politik yang
dia lakukan. Bersama Cokroaminoto, Kartosuwiryo menjadi sekertarisnya dan terus
melakukan fungsinya hingga 1929.
Persamaan lain antara Kartosuwiryo dan Soekarno adalah
keduanya memulai karier politik mereka di Surabaya dari gerakan Jong Java (Pemuda Jawa), meskipun pada
akhirnya mereka berdua menarik diri dari organisasi ini.
Bagi Darul Islam, Kartosuwiryo memiliki peran yang sangat
penting. Gerakan ini memastikan bahwa Kartosuwiryo merupakan pimpinan dari
gerakan Darul Islam, bukan hanya di Jawa Barat tetapi juga di seluruh
Indonesia. Kartosuwiryo sendirilah yang memproklamasikan pembentukan Negara
Islam Indonesia yang seharusnya dilakukan pada masa awal menyerahnya Jepang
namun kemudian diundur karena lebih dahulu dikabarkan pernyataan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesis oleh Soekarno dan Hatta. Secara resmi proklamasi pembentukan Negara
Islam dinyatakan pada 7 Agustus 1949 oleh Kartosuwiryo sendiri. Agar gerakan
Darul Islam yang sesungguhnya dapat mengambil bentuk, syaratnya adalah bahwa
sentiment dan perasaan tidak laagi disuarakan oleh pemimpin-pemimpin lokal
murni, tetapi oleh orang-orang yang telah mampu melampaui batas-batas
lokal dan dapat merumuskan suatu alternatif Islam bagi Republik
Indonesia tanpa kehilangan sentuhan dengan masyarakat lokal. Jenis kepemimpinan
inilah yang dimiliki Kartosuiryo yang berpengalaman dengan politik nasional dan
dekat dengan masyarakat pedesaan untuk menarik dukungan.
Pada tahun-tahun awal revolusi, baik Kartosuwiryo maupun
petinggi Darul Islam dan pemimpin Indonesia dapat mengabaikan perbedaan dalam
konsepsi dasar negara Indonesia. Perlawanan terhadap Belanda yang menjadi musuh
bersama menjadi salah satu peredam sementara dalam hal ideologi. Bahkan
pembentukan Tentara Islam Indonesia (TII) pada awal 1948 tidak menimbulkan
pertempuran terbuka meskipun tindakan ini jelas merupakan langkah persiapan
dalam pembentukan Negara Islam. Tentara Islam Indonesia dibentuk setelah adanya
Perjanjian Renville pada Januari 1948. Persetujuan inilah yang akhirnya
menyebabkan gerakan-gerakan perang antara Darul Islam dan Republik Indonesia.
Salah satu ketentuan perjanjian ini yang diadakan antara Indonesia dan Belanda
adalah bahwa pasukan Republik akan ditarik dari daerah-daerah yang resmi
dikuasai Belanda. Tidak terlepas juga daerah Jawa Barat yang menjadi tempat
pendudukan Divisi Siliwangi pada masa itu yang kemudianpada tanggal 2 Februari melakukan
hijrah hingga ke Yogyakarta dan Jawa
Tengah . Sebagai akibatnya Perdana Mentri masa itu, Amir Sjarifuddin,
mengundurkan diri karena menciutnya dukungan terhadap kabinetnya karena
dianggap bertanggung jawab atas penandatanganan perjanjian tersebut.
Perjanjian Renville mendapat penolakan dari pihak gerilyawan
yang berada di Jawa Barat. Di antara pasukan yang menolak mengundurkan diri
adalah dua pasukan gerilya Islam, Hizbu’llah dan Sabili’llah, yang merupakan
cabang bersenjata dari partai besar Islam, Masyumi. Kedudukan kedua pasukan ini
di Jawa Barat memberi dukungan besar bagi Kartosuwiryo dengan menjadikan
Hizbu’llah dan Sabili’llah sebagai bagian dari Tentara Islam Indonesia. Hingga
satu tahun kemudian Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat, mereka menghadapi
rakyat yang merasa dikecewakan oleh Indonesia dan menganggap diri mereka
sebagai penerus perjuangan dalam melawan Belanda.
Kartosuwiryo sendiri menjabat sebagai Imam dalam Negara Islam
Indonesia yang merupakan pimpinan tertinggi dan juga turut merekrut anggota
bagi Darul Islam seperti yang dilakukannya kepada Kahar Muzzakar yang memimpin
pasukan gerilyawan pemerontak di Sulawesi Selatan dengan mengirim surat pribadi
yang meminta Kahar Muzzakar bergabung dalam Darul Islam di Jawa namun tetap
memimpin dan melakukan pergerakan di Sulawesi. Kartosuwiryo terus menjadi
pemimpin tetap Darul Islam, bukan hanya di Jawa, melainkan juga di Darul Islam
yang tersebar di wilayah-wilayah Indonesia. Hingga pada 1962 dia ditangkap oleh
Tentara Republik dan dijatuhi hukuman mati. Pemberontakan yang ia pimpin
memakan waktu kira-kira lima belas tahun untuk diberantas.
3. Darul Islam di Jawa Barat
Darul
Islam Jawa Barat muncul pada awal 1948, sesudah Perjanjian Renville antara
Pemerintahan Belanda dan Pemerintahan Indonesia. Akibatnya pasukan Tentara
Indonesia harus ditarik mundur dari Jawa Barat ke Jawa Timur dan daerah
sebelumnya menjadi kekuasaan Belanda. Perjanjian ini dilaksanakan oleh pihak
tentara dan resmi mundur hingga ke Jawa Timur. Namun banyak satuan gerilyawan
terutama dua satuan gerilya Muslim, Hizbu’llah dan Sabili’llah yang menolak
melakukan hal yang sama dengan Tentara Indonesia. Mereka juga menolak perintah
untuk menyerahkan senjata mereka kepada pihak tentara. Tentara berusaha
melucuti persenjataan para gerilyawan ini, tetapi tetap tak bisa mencegah
mereka tetap tinggal di sana. Bebas dari pengawasan Tentara Nasional di Jawa
Tengah, dan oleh prakarsa Kartosuwiryo, kedua satuan ini mengadakan organisasi
militer dan pemerintahan mereka sendiri yang dalam jangka satu tahun menjadi
inti bagi Negara Islam Indonesia.
Hizbu’llah atau Tentara Tuhan
didirikan pada masa akhir pendudukan Jepang sebagai pertahanan bagi umat Muslim dalam
melindungi dirinya sendiri. Hizbu’llah hanya dapat menguasai kira-kira 500
anggota yang sedikit banyak terlatih dan tersebar di Jawa dan Madura pada akhir
pendudukan Jepang di Indonesia. Hizbu’llah tumbuh menjadi organisasi militer
sejati setelah masa proklamasi. Banyak cabang baru yang bermunculan dengan
masuknya banyak pemuda Muslim. Kekuatan Hizbu’llah bertumbuh menjadi gerakan
gerilya yang besar dan tersebar di seluruh Jawa. Di Jawa Barat terdapat dua
divisi Hizbu’llah dipimpin oleh Zainul Bachri dan Samsul Bachri, komandan
Hizbu’llah yang terpenting adalah Huseinsyah, Zainul Abidin, dan Kamran, rekan
Kartosuwiryo di PSII sebelum perang.
Sabili’llah atau Sabil Allah, Jalan
Tuhan, muncul setelah Hizbu’llah atas prakarsa kongres pertama Masyumi yang
diadakan pada November 1945. Di sinilah Sabili’llah dibentuk Masyumi sebagai
milisi warga negara dalam perang gerilya melawan Belanda. Tujuannya adalah
memperkukuh kesiapan rakyat Muslim untuk melakukan jihad fi sabili’llah, upaya di jalan Tuhan. Keanggotan Sabili’llah
umumnya berasal dari mereka yang gagal untuk bergabung ke Hizbu’llah.
Sabili’llah dan Hizbu’llah kemudian
digabungkan menjadi kesatuan bernama Tentara Islam Indonesia (TII) atas dasar
petemuan yang diadakan oleh Oni, Komandan Sabili’llah di pegunungan sekitar
Tasikmalaya, dan Kartosuwiryo dalam pembahasan mengenai situasi politik dan
militer masa itu. Pertemuan dilanjutkan dengan saran mengenai pengadaan pertemuan
yang lebih besar lagi bersama dengan pemimpin-pemimpin organisasi Islam lainnya
sehingga diadakan Pertemuan Cisayong pada 10 dan 11 Februari di Desa
Pangwedusan. Pertemuan ini menghasilkan keputusan-keputusan, seperti membekukan
Masyumi di Jawa Barat, membentuk daerah dasar di Jawa Barat, dan mendirikan
Tentara Islam Indonesia.
Pada tahun 1949 kegiatan Darul Islam
menjadi ancaman bagi Indonesia dan juga Negara Pasundan yang merupakan daerah
di bawah kekuasaan Belanda. Dalam menghadapi ancaman ini Negara Pasundan
memutuskan bergabung dengan kekuatan militer Indonesia, Divisi Siliwangi,
karena tidak memiliki tentara sendiri dan harus mengandalkan bantuan dari
tentara Belanda. Hal ini menyebabkan jatuhnya harga diri Negara Pasundan karena
harus bekerjasama dengan pihak Indonesia yang tidak mengakui kedaulatan dan
eksistensi Negara Pasundan. Demikianlah kerjasama antara Divisi Siliwangi dan
Negara Pasundan yang muncul oleh karena kebutuhan. Pada 1949 kegiatan Darul
Islam terlihat hampir di setiap pojok Jawa Barat. Yang paling memprihatinkan
adalah benteng-benteng Darul Islam yang menjadi bukti dari ekspansi Darul
Islam. Tempat yang paling darurat terdapat di Tasikmalaya yang di sekitarnya
dipusatkan puluhan ribu anggota Darul Islam.
Negara Islam Indonesia bertahan lebih lama daripada Negara
Pasundan. Kartosuwiryo berhasil mengkonsolidasi posisinya dan meluaskan daerah-daerah pergerakannya pada
tahun awal pembentukan hingga akhir 1950-an. Antara 1950 hingga 1957 kegiatan
Darul Islam terjadi di seluruh Priangan, pasukan Darul Islam beroperasi dari
simpang gunung di sebelah barat terkadang hingga masuk ke Banten hingga
Sidareja melalui perbatasan Jawa Tengah. Sejak 1956, Negara Islam Indonesia
sudah menguasai seperlima Kabupaten
Tasikmalaya, yaitu 75 desa dari keseluruhan 201 desa. Terdapat pangkalan Darul
Islam lainnya di Priangan Barat di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Bogor dan
Bandung yang menjadikan daerah-daerah tertentu di tempat ini menjadi tidak
aman. Darul Islam menguasai daerah Gunung Salak, di selatan Bogor dan daerah
sebelah selatan Cianjur. Di Tasikmalaya dan Garut hingga pada tahun 1951,
hampir terdengar setiap malam suara tembakan baik di kota maupun di bagian luar
kota. Pada 18 Februari 1951, Tasikmalaya diserang orang 500 orang di bawah
pimpinan Toha Arsjad dan pada hari yang sama Darul Islam memasuki Singaparna
dan Manonjaja. Dampak dari serangan Darul Islam memporakporandakan banyak
daerah dengan membakar rumah-rumah warga,
melakukan pembunuhan, dan perampokan.
Kadang-kadang desa diserang sebagai pembalasan pasukan Darul
Islam karena dicurigai membantu pihak Tentara Nasional. Bukan hanya dari pihak
Darul Islam saja, Tentara Nasional juga terkadang melakukan hal yang sama
kepada warga desa yang dianggap membantu musuh.
Terdapat perbedaan antara desa-desa yang mendukung Darul
Islam dan mendukung Tentara Nasional. Di desa-desa yang mendukung Tentara
Nasional dan berada pada wilayah operasi Darul lslam, warga takut untuk tinggal
di rumah pada malam hari dan tidur di sawah, gunung ataupun pergi jauh ke kota
meninggalkan rumah mereka. Di daerah yang dikuasai Darul Islam, terjadi
kebalikannya. Mereka yang mendukung Darul Islam takut tinggal di rumah pada
siang hari dan memilih tetap di sawah atau di gunung dan baru kembali pada
malam hari, berjaga-jaga dari patroli yang dilakukan Tentara Nasional.
4. Pemberantasan Darul Islam Jawa Barat
Pada
masa Kabinet Natsir dilakukan langkah-langkah dalam mengakhiri gerakan
pemberontakan di Jawa Barat khususnya terhadap Darul Islam. Pada awalnya
Kabinet Natsir berusaha membujuk para gerilyawan yang terus menentang Republik
agar menyerah. Pemerintah mengeluarkan pengumuman pada 14 November yang memberikan
kesempatan kepada para gerilyawan untuk melapor kepada pemerintah hingga pada
14 Desember dan dijanjikan akan diterima dalam Angkatan Bersenjata atau
Angkatan Kepolisian sesuai dengan peraturan yang berlaku bila mereka
menghendaki. Bila tidak, pemerintah akan membantu mereka mencari pekerjaan
baru. Karena himbauan untuk menyerah mengalami kegagalan, maka digunakan
langkah keras oleh Tentara Republik dengan dilakukannya penangkapan
besar-besaran. Dari Januari hingga November, 10.000 orang ditangkap di Jawa
Barat tak lama kemudian kira-kira 7.000 orang di antaranya dibebaskan. Di
antara mereka yang ditahan terdapat banyak anggota Masyumi, sebuah partai yang
dicurigai karena diduga mempunyai simpati kepada Darul Islam.
Selain himbauan untuk menyerah, upaya
untuk mengadakan hubungan dengan pemimpin Darul Islam dan merundingkan cara
damai juga gagal. Pada waktu itu dibentuk sebuah panitia yang diketuai Natsir
dan bertujuan mencari jalan dalam damai mengenai permasalahan ini. Panitia ini
juga ditugasi menyelidiki masalah Darul Islam dan memberi saran kepada
pemerintah tentang langkah tepat sehubungan dengan masalah ini. Namun panitia
ini tidak berhasil mengadakan hubungan dengan Kartosuwiryo melalui Iyet Hidayat
yang merupakan mantan Bupati Darul Islam dan ketua Majelis Islam Bandung.
Di samping panitia tersebut, terdapat
dua kepanitiaan lain yang diketuai oleh Wachid Hasyim dan yang lainnya diketuai
oleh Raden Wali al-Fatah.
Wali al-Fatah dan Kartosuwiryo
merupakan kenalan dekat bahkan berteman akrab. Keduanya merupakan tokoh penting
di PSII sebelum perang meskipun pada akhirnya mereka berdua meninggalkan PSII
dengan alasan masing-masing. Mereka juga berasal dari daerah yang sama, Jawa
Timur, meski begitu pandangan politik dan agama merka berbeda. Pada 1950, Wali
al-Fatah meyakinkan diri bahwa ia mampu membujuk Kartosuwiryo untuk menyerah.
Usahanya tersebut merupakan inisiatifnya sendiri dengan persetujuan diam-diam
dari pemerintah. Dia berpendapat sama dengan Natsir bahwa yang harus dilakukan
untuk mengakhiri pemberontakan adalah dengan cara berunding. Misi Wali al-Fatah
gagal, dan menurutnya satu-satunya alternatif adalah melalui aksi milliter.
Kegagalan ini mungkin disebabkan oleh sikap keras Kartosuwiryo dan tingkah
Tentara Republik yang terus mengadakan
serangan terhadap pihak Kartosuwiryo dalam upaya Wali al-Fatah berhubungan
dengan pemimpin Darul Islam.
Pengganti Natsir, Sukiman, walaupun
juga seorang politikus Masyumi, mengambil jalan keras dalam persoalan ini. Ia
memutuskan meningkatkan usaha militer dalam menumpas segala bentuk
pemberontakan. Seruan untuk mengadakan aksi militer tidak hanya datang dari
pihak militer, tetapi juga dari partai sekuler seperti PKI dan PNI. Di samping itu, Soekarno mendesak agar dikeluarkannya
pernyataan resmi yang mengecap pemebrontakan Darul Islam sebagai pemberontak
negara. Pemerintah Indonesia menyambut
ini dengan mempersiapkan Rancangan Undang-Undang yang mengusulkan 13 gerakan
yang dinyatakan dilarang termasuk di dalamnya Darul Islam.
Di lain pihak, Negara Islam meningkatkan aksi-aksinya,
sebagian untuk menghilangkan kesan bahwa Operasi Tentara Republik berhasil dan
Tentara Islam telah dipojokkan. Tentara Islam mengadakan “aksi serentak” pada
1953, di bawah pimpinan Ukhyan Effendi, ia memerintahkan pasukannya melakukan
perusakan terhadap fasilitas umum dan hal-hal yang dianggap dapat mengacaukan
musuh.
Aksi-aksi anti-Darul Islam di masa
awal yang dilakukan Tentara Republik harus terhambat oleh adanya
pemberontakan-pemberontakan lain yang menyita perhatian. Pemberontakan seperti
yang terjadi di Ujungpandang, Sulawesi dalam menumpas pemberontakan Andi Abdul
Azis dan pembentukan Repulik Maluku Selatan pada April 1950 di Maluku. Situasi
diperparah oleh adanya pemberontakan lain seperti gerakan Kahar Muzzakar di
Sulawesi dan Ibnu Hadjar di Kalimantan yang ikut bergabung ke dalam Negara
Islam Kartosuwiryo dan Aceh yang memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Tentara Republik mencapai kesuksesan terbesar pada 1951,
ketika beberapa pimpinan Darul Islam ditangkap ataupun terbunuh di waktu yang
bersamaan. Komandan Tentara Islam, Oni, ditemukan tewas dan dua menteri
Kartosuwiryo ditangkap. Pada 1957 Jendral A. H. Nasution yang bertugas
mengepalai operasi terhadap Darul Islam dan gerakan pemberontakan lain
melakukan pergerakan melalui “Rencana 2,1”. Gagasan ini dilakukan dengan cara
menahan musuh di daerah-daerah tertentu dan aksi Tentara Republik harus dipusatkan pada salah
satu daerah sekaligus dengan demikian pangkalan musuh dapat ditumpas satu
persatu. Tetapi rencana ini tidak mencapai kesuksesan karena Divisi Siliwangi
kekurangan tenaga untuk menjalankan rencana tersebut. Bahkan dengan bantuan dua
divisi Jawa lainnya, Divisi Diponegoro dan Divisi Brawijaya, tidak mungkin
menaklukan TII. Karena itu diadakan perubahan rencana demi menumpas habis TII
dan Darul Islam. Hingga pada 1960, penduduk sipil Jawa Barat diikutsertakan
dalam operasi dan dibentuklah “pagar betis” secara besar-besaran. Penduduk
sipil membentuk garis maju berangsur-angsur dengan satuan-satuan kecil tiga sampai
empat prajurit pada jarak tertentu. Dalam teori, pagar betis didukung satuan
militer di baris depan maupun di belakang. Prajurit di depan memastikan adanya
wilayah yang dapat terus diisi ke depan sementara prajurit di belakang
merupakan semacam cadangan yang dapat digunakan pada tempat yang terancam dalam
pagar. Dalam praktik, Tentara Republik kadang menggunakan “pagar betis” sebagai
“perisai manusia”. Sesudah tentara dan sipil berhasil mengelilingi markas
musuh, tentara menggerakan orang sipil untuk maju hingga pasukan Darul Islam
dipaksa menembaki mereka lalu setelah itu Tentara Republik turut dalam
memperketat kepungan.
Teknik lain yang digunakan untuk
memaksa pasukan lawan menyerah adalah dengan menduduki sawah musuh agar hasil
dari sawah tersebut tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasukan
Darul Islam.
Kartosuwiryo membalas tekanan dari pihak Angkatan Bersenjata
Republik dengan memerintahkan perang semesta terhadap musuh-musuhnya pada awal
1961. Dia membinasakan semua orang, tanpa terkecuali, yang terdapat di
desa-desa yang dianggap secara aktif maupun pasif mendukung kegiatan Tentara
Republik.
Untuk mengakhiri aksi anti-Darul
Islam di Jawa Barat, aksi-aksi militer terus ditingkatkan. Pada April 1962
dibentuk gerakan “Operasi Brata Yudha” yang turut di dalamnya Divis Diponegoro
dan Divisi Brawijaya.
Pada 4 Juni 1962 Kartosuwiryo tertangkap bersama dengan
isterinya dan komandan pengawal pribadinya, Kurnia, di tempat persembunyian di
puncak Gunung Geber. Ketika ditangkap Kartosuwiryo dalam keadaan sakit berat
dan setengah lumpuh oleh luka tembak di paha kanannya. Kartosuwiryo dan Kurnia
termasuk ke dalam pimpinan Darul Islam
yang tertangkap di Jawa Barat, tidak seperti petinggi lain yang tewas pada
pertempuran dan pengganti mereka yang menyerah pada 1961. Sesudah dia
ditangkap, Dede Mohammad Darda, salah seorang putera Kartosuwiryo, yang merupakan
sekretaris ayahnya selama bertahun-tahun, mengeluarkan Instruksi atas nama Imam
dan Presiden Negara Islam Indonesia yang memerintahkan seluruh anggota Darul
Islam yang masih berjuang agar menyerah. Sebagian besar anggota tersebut
mematuhi instruksi tersebut dan bersumpah setia kepada Republik Indonesia pada
1 Agustus 1962, termasuk di dalamnya komandan Darul Islam yang masih bebas,
Agus Abdullah, Komandan Divisi Jawa dan Divisi Kesatu dan Divisi Madura.
Kartosuwiryo sendiri dijatuhi hukuman mati sesudah
disidangkan selama tiga hari pada 16 Agustus 1962. Hukuman mati dilaksanakan
sebulan kemudian bersama dengan empat anggota Darul Islam yang terlibat dalam
rencana pembunuhan Presiden Soekarno pada 1 Mei 1962.
Dengan penangkapan dan hukuman mati terhadap Kartosuwiryo
berakhir pula pemberontakan Islam yang terorganisir di Jawa Barat yang telah
berlangsung selama sepuluh tahun. Keadaan tetap tenang hingga 1976 hingga
dilaporkan adanya kegiatan baru Darul Islam di daerah tersebut setelah lima
belas tahun berlalu.
Bab III
1. Kesimpulan
Darul
Islam dan Negara Islam Indonesia merupakan sedikit dari sekian banyak gerakan
pemberontakan di Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan. Gerakan yang muncul
oleh rasa tidak puas terhadap keputusan Indonesia untuk menyetujui Perjanjian
Renville dalam menghadapi kekalahan terhadap agresi militer Belanda dan
didorong oleh tokoh yang amat fanatic terhadap agama Islam dan memiliki
pandangan tersendiri terhadap pemerintahan Reupblik Indonesia masa itu, S. M.
Kartosuwiryo. Pergerakan DI/TII khususnya di Jawa Barat membawa perubahan besar
pada kesatuan Indonesia karena mampu menyebarkan pahamnya mengenai Negara Islam
Indonesia hingga ke luar Jawa. Hal ini memaksa pemerintah Indonesia bersama
Tentara Indonesia untuk berpikir keras dalam menumpas segala jenis
pemberontakan yang berhubungan dengan Darul Islam. Segala jenis upaya telah
dilakukan, dimulai dengan amnesti yang dikeluarkan pada masa Natsir memimpin,
upaya demobilisasi bagi para mantan gerilyawan, upaya perundingan dengan
mengirimkan tokoh yang telah lama mengenal Kartosuwiryo, Raden Wali al-Fatah
dan hingga pada masa Perdana Menteri kedua, Sukiman, aksi anti-Darul Islam semakin
gencar dilaksanakan dengan turut melibatkan rakyat sipil dalam Operasi Brata
Yudha. Hingga akhirnya Darul Islam dapat dilumpuhkan dengan ditangkapnya
Kartosuwiryo selaku Imam dan Presiden Negara Islam Indonesia serta pemimpin
Darul Islam.
2. Saran
Tidak
dapat kita sangkal bahwa Pemberontakan Darul Islam memberi dampak yang besar
bagi perkembangan Indonesia. Segala bentuk pemberontakan yang Darul Islam
jalankan memang bertujuan untuk menentang adanya penjajahan pihak asing di
tanah air. Namun, dalam mencapai tujuannya Kartosuwiryo bersama Darul Islam-nya
menempuh jalur keras dan menimbulkan keresahan dan kekacauan bagi orang banyak.
Ada baiknya kita belajar dari seorang Kartosuwiryo mengenai kepemimpinan dan
kesungguhannya dalam mencapai cita-citanya, tetapi kita tetap harus menempatkan
segala sesuatu dalam proporsinya masing-masing. Hal yang kita idamkan dapat
kita wujudkan tanpa harus melalui jalur kekerasan dan tetap menjaga toleransi
dalam kehidupan yang majemuk dalam bermasyarakat dan bertanah air sehingga apa
yang kita cita-citakan tidak hanya membawa kepuasan bagi kita secara pribadi
namun juga membawa dampak positif bagi orang lain dan juga membantu negeri ini
dalam mewujudkan cita-cita.
Daftar Pustaka
C. Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, 1993,
Jakarta: PT Temprint
Langganan:
Postingan (Atom)